Kamis, 24 November 2011


PENDAHULUAN

Cerita Rakyat Indonesia merupakan bagian kesusastraan Indonesia lama. Daerah Jambi yang terletak di pulau Sumatera, yang konon terselisih dari tulisan Devanagari atau Pallawa-Cerita rakyatnya belum ditemui dalam bentuk tulisan (tertulis).Cerita Rakyat daerah Jambi ialah cerita-cerita rakyat yang karena hubungan politis ketatanegaraan bermukim dan terdapat dalam satu daerah yang sama yakni Jambi, dan di Jambi terdapat Dati II Kerinci.
Dalam Sastra Kerinci terdapat nilai-nilai yang terkandung sebagai pelajaran hidup dan Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan tersendiri dalam Sastra Kerinci. Oeh karena itu, Karya Sastra ini harus dipelajari agar kebudayaan cerita lisan tetap berkembang.
Sastra Kerinci pada umumnya sastra lisan. Bentuk-bentuk Sastra Lisan Kerinci bisa diklarifikasikan sebagai prosa, puisi, prosa liris, dan kaunaung adalah salah satu bentuk kesenian yang disenangi masyarakat berupa cerita, lagu serta ekspresi penceritaannya. Disampaikan oleh pencerita yang disebut tukang kunaung yang diiringi dengan alat musik seperti rebana, gendang, gong dan lainnya, ada pula yang tanpa iringan alat musik. Pada umumnya cerita yang disampaikan bertujuan sebagai pelipur lara, yang diselingi dengan petuah, pendidikan moral, dan cerita mengenai kisah-kisah.











PEMBAHASAN


1.      Kedudukan Karya Sastra Kerinci dalam Sastra Kerinci

Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan dalam Sastra Kerinci yaitu sebagai wujud warisan kebudayaan daerah Kerinci, dan biasanya diceritakan secara lesan oleh pelisan. Berupa cerita yang terus menerus diceritakan pada waktu-waktu tertentu seperti menuai padi; cerita Tupai Jenjang.
Orang Kerinci yang pragmatis-humoris, cerita rakyatnya banyak yang lucu-lucu. Tipu muslihat, akal sehat, kesedihan, kegembiraan, nasib mujur, sering dijadikan dasar dan jiwa cerita. Dalam cerita Tupai Jenjang mengisahkan seorang tokoh yang mengalami kemujuran.
Cerita “Tupai Jenjang” merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa, yang mengisahkan kehidupan puteri raja menikah dengan pemuda dari kalangan biasa. Banyak juga masalah yang dihadapi saat meuju ke ladang, yaitu bertemu dengan raksasa.

2.      Nilai-nilai
Sastra lisan berupa cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Karya Sastra Kerinci yang berjudul “Tupai Jenjang” mempunyai nilai-nilai yang terkandung di dalam isi ceritanya, misalnya:
a.       Nilai Keagamaan: bahwa seorang pemuda dan pemudi yang bukan muhrimnya tidak boleh pergi bersama apabila belum menikah. Ini membuktikan bahwa aturan agama sangat melekat dalam kehidupan mereka.
b.      Nilai adat istiadat:  aturan adat istiadat juga dicerinkan dalam cerita “Tupai Jenjang”.




PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Karya Sastra Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan Sastra Lisan Kerinci dan merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa.
2.      Sastra Lisan Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan cerita rakyat warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.



















DAFTAR PUSTAKA

     Bambang Suwondo. 1982. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Solo: BPSI (Badan Penerbit Sastra Indonesia).





















SINOPSIS TUPAI JENJANG

Hulu Balang mendatangi rumah Bujang Bingung guna melaksanakan perintah dari raja. Raja menginginkan Bujang Bingung mencari mentimun untuk puterinya yang sakit. Lalu Bujang Bingung menghadap raja, dan mengatakan ketidaksanggupannya bila mencari mentimun itu sendiri. Raja berusaha membujuk Bujang Bingung dengan iming-iming berupa beras, kapak atau parang, dan berladang. Raja juga mempelihatkan keadaan puterinya yang hanya tinggal kulit dibalut tulang dikarenakan tidak makan mentimun. Akhirnya, Bujang Bingung menyanggupi permintaan raja untuk mencari mentimun.
Raja berkata kepada puterinya, bahwa Bujang Bingung menyanggupi perintahnya itu dan akan membawakan mentimun itu untusknya. Raja juga menasehati puterinya agar bersenang hati dan tidak demam lagi. Meskipun mentimun itu datang, tetapi kalau dimakan waktu demam pasti tidak enak rasanya. Puteri memiliki prinsip yang berbeda, dia menginginkan mentimun itu sekarang juga, dan kalaupun mentimun itu tidak ada, puteri ingin ikut bersama Bujang Bingung pergi ke ladang. Raja menetang keputusan puteri, dikarenakan puteri masih gadis dan sementara Bujang Bingung adalah bujang. Kemudian raja mengutus hulu Balang kembali menjemput Bujang Bingung. Raja langsung mengatakan maksudnya kepada Bujang Bingung, tetapi Bujang Bingung membutuhkan persetujuan orang tuanya.
Bujang Bingung memanggil ibunya dan mengatakan keinginannya untuk menikahi puteri raja. Ibunya merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan keluarga raja, dikarenakan dirinya miskin. Tapi pada akhirnya keputusan diserahkan kepada anaknya.
Bujang Bingung pergi menghadap raja dan memberi kabar tentang keputusan ibunya. Setelah mendengar cerita Bujang Bingung, raja langsung memerintahkan hulu Balang untuk memanggil tuan Kadi guna menikahkan Bujang Bingung dengan puterinya. Di hari pernikahannya, Bujang Bingung justru teringat akan ibunya yang ada di rumah makan dengan menggunkan apa, sedangkan dirinya makan dengan makanan enak. Melihat makanan yang enak-enak, Bujang Bingung ingin membungkus makanan itu untuk dibawa pulang guna diberikan kepada ibunya.
Bujang Bingung hendak pergi ke ladang, an istrinya merengek untuk iut juga ke ladang. Bujang Bingung Mengizinkan istrinya ke ladang asalkan dia izin terlebih dahulu kepda sang raja. Raja pun mengizinkan mereka berdua pergi.
Perjalanan ke ladang membutuhkan waktu yang lama, perlu mendaki bukit, menuruni lurah dan melayari sungai. Selama diperjalanan puteri banyak mengeluh karena kecapekan dan membutuhkan istirahat. Puteri pun meminta suaminya untuk menunggunya. Tetapi sang suami tetap meneruskan perjalanannya dan menyuruh istrinya kembali pulang saja. Tapi sang istri tetap kukuh pada pendiriannya menemani suaminya pergi ke ladang. Lama perjalanan, tetap tidak menjumpai ladang. Sang istri dalam hati berguming bahwa dirinya merasa di tipu.
Tiba di atas puncak bukit kebetulan terlihatlah agak jauh ada padi orang sedang menguning, itu lah ladang padi kita, kata suaminya itu. Padi yang ditanamnya sewaktu hendak pulang ke dusun dulu, sudah kusiangi dan sekarang sudah menguning padi ini.
Dekat ladang tersebut ada rumah tapi dihuni oleh raksasa. Dinding rumah terbuat dari kulit-kulit binatang, dari rambut orang dan bulu-bulu binatang dijadikan atap rumah. Merekta berdua dalam bahaya lalu mereka naik ke loteng bersembunyi. Setelah diatas loteng, mereka melihat raksasa yang sedang memasak bubur paha gajah. Kelihatan lezat bubur itu, sehingga isteri Bujang Bingung kelihatan lapar dan menyuruh suaminya untuk memintanya sedikit. Tetapi Bujang Bingung tidak mau, karena terlalu berbahaya dan ditolak istrinya sampai jatuh ke dalam daging gajah itu. Terpelantinglah daging itu lalu terpercik terkena raksasa besar itu. Kemudian raksasa itu lari ke hutan. Turunlah si Bujang mengambil istrinya dan digosok-gosoknya dengan gula yang kebetulan banyak disitu. Mereka berdua lalu makan bubur paha gajah itu.
Raksasa meraung-raung kesakitan dan miminta tolong musang untuk pergi ke rumahnya dan melihat siapa yang menganggunya tadi. Musang melaksanakan perintah dari raksasa tersebut dan bergegas pergi ke rumah tersebut. Naiklah musang ke atas bumbung rumah dan mengintip si Bujang dan isterinya. Keduanya mengetahui musang yang ada di atas, lalu ditariklah ekor musang itu sampai putus dari badannya.
Sudah tujuh hari raksasa itu tidak kembali ke rumahnya, itu berarti raksasa itu sudah tidak menginginkan rumah itu lagi. Kemudian si Bujang menasehati istrinya sebab ia tidak mau mengajak dirinya ke ladang karena terlalu banyak bahaya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang bersama, perjalanan pulang selama lima hari baru sampai ke dusun. Setelah sampai, Bujang Bingung menyuruh sang raja untuk menyiapkan kuli untuk menuai padi di ladang. Si Bujang pun mengakui kesalahannya selama ini, dan meminta maaf kepada raja. Istri si Bujang pun juga hamil, jadi tidak mungkin Bujang Bingung meninggalkannya.
Menuailah mereka, menuailah bersama-sama. Diangkutlah padi yang sudah dituai itu dibawa pulang. Tidak lama setelah itu, Bujang Bingung pun beruntunglah hidup bersama puteri raja dan beruntung pulalah mendapat padi seperti itu.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar