Paper Sastra Melayu Tionghoa

Sastra Melayu Tionghoa

Abstrak
Melayu Rendah atau Melayu Tionghoa hadir di Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda. Dari situlah muncul berbagai karya-karya sastra yang mendasari ungkapan etnis Tionghoa akibat penjajahan kolonial Belanda . Karya etnis Tionghoa lebih berdasarkan kehidupan nyata yang dialaminya, kemudian diungkapkan dalam bentuk cerita, misalnya novel. Ini merupkan ciri khas yang dimiliki Melayu Tionghoa dalam menghadirkan karya sastra dikhasanah Indonesia. Seorang sastrawan yang muncul pada masa itu adalah Kwee Tek Hoay dengan berbagai karya sastranya yang sangat membuming pada masa itu. Bahkan Melayu Tionghoa tidak lepas dari kaitannya dengan Balai Pustaka, karena Balai Pustaka merupakan Lembaga yang didirikan pemerintahan Belanda yang bergerak dalam bidang penerbitan bacaan rakyat. Oleh karena itu, sebuah karya sastra yang diciptakan harus melalui Balai Pustaka.
Melayu Tionghoa merupakan sastra melayu yang masih mencari pengakuan sebagai karya sastra. Sementara itu, karya Sastra Melayu Tionghoa merupkan refleksi kritis terhadap dinamika yang terjadi pada semasa puncak Pac Neerlandica (masa keemasan penjajahan Belanda-Red) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia, yaitu pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa. Keadaan etnis Tionghoa itu sendiri tidak seragam, ada yang berorientasi ke negeri leluhur, berpihak pada Idonesia, atau memuja kolonialisme Belanda,terekam dalam rangkaian karya tersebut.

Kata Kunci : Karya sastra bahasa Melayu Rendah,Peranakan Tionghoa, dan proses.







A. PENGANTAR
Di bidang Civil Ringhts, warganegara Indonesia masih memerlukan prakarsa dari pemerintah baru yang jauh lebih hebat lagi daripada yang terkandung dalam Keppres no.6/2000. Sepanjang yang menyangkut masyarakat peranakan Tionghoa, salah satu masalah Civil Ringhts yang sudah lama terpendam adalah belum ada pengakuan atas kepeloporan mereka dalam proses kebangsaan Indonesia melalui perkembangan kesastraan Melayu tionghoa. Sekalipun kesastraan ini sudah ada sejak 1870, hingga detik ini, kesastraan Indonesia modern tetap masih dianggap baru muncul pada akhir Perang Dunia 1, yaitu pada 1918, ketika Balai Pustaka membentuk Dewan Redaksi untuk mendorong kegiatan menulis dikalangan orang Indonesia dan untuk menyaring tulisan mereka itu.
Sastra Melayu Rendah atau Melayu Tionghoa merupakan karya sastra yang menarik untuk diteiti dan dipahami. Karena sastra melayu tersebut mempunyai karakter khas yang tergambar dari sifat identitas, orientasi diri,jati diri dan menyikapi suatu kehidupan.Ini menceritakan komunitas orang-orang Tionghoa sendiri, sastra jenis ini berkisah tentang hubungan antarras, relasi etnisitas, dan relasi gender antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan lokal.Sementara itu karya sastra Melayu Rendah di Indonesia masih dalam predikat mencari pengakuan.
Sedikit sevara kuantitatif, kurangnya pengakuan ini tampak tidak adil. Menurut perhitungan Claudine Salmon, salah seorang sarjana yang menekuni masalah ini, selama hampir 100 tahun (1870-1960), kesastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 Penulis yang menghasilkan 3005 karya. Sebaliknya, sesuai dengan catatan Prof. Dr. A. Teew, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesastraan modern Indonesia (tidak termasuk terjemaah) hanya melibatkan 175 penulis dan sekitar 400 karya.
Sebenarnya bukan tidak ada suara yang mengakui kepeloporan kesastraan Melayu Tionghoa, sekalipun terdengar hanya sayup-sayup di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada tahun 1930 Nio Joe Lan sesudah menyerukan pentingnya peranan kesastraan ini. Dia menaminya Kesastraan Indo- Tionghoa (de Indo-Chineesche Leteratuur), yang berkembang sendiri diluar lembaga resmi. Segera sesudah mereka, Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menyebutnya masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asililasi masa transisi dari kesastraan lama ke kesastraan baru. Pada 1971, C.W.Watson menyebutnya pendahuluan Kesastraan Indonesia Modern (antecedents of modern Indonesia literature). Pada 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).
Walaupun demikian, selain mengingkari kenyataan sejarah, kurangnya pengakuan ini boleh jadi ikut mengoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kebetulan selama paroh terakhir mengancam kelangsungan persatuan bangsa itu. Waktu itu, serangkaian kerusuhan masa meledak diberbagai kota seperti Jakarta (Peristiwa 27 Juli), Situbondo, Tasikmalaya, dan Sanggau Ledo. Rangkaian kerusuhan itu melibatkan kelompok-kelompok warganegara berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan, dan yang paling sering jadi sasaran adalah masyarakat Peranakan Tionghoa.
Dilihat dari pendapat para ahli-ahli tersebut, membuat rasa ketertarikan mengambil tema Melayu Tionghoa. Mulai dari mempelajari karya-karyanya yang terjadi pada masa itu dan kaitanya dengan zaman sekarang. Menjadi suatu bembanding yang mengalami suatu keterkaitan yang sangat mendalam dari setiap periodisasi sastra Indonesia. Mulai dari kapan sastra tersebut hadir dikasanah Indonesia, proses terbentuknya, mendapatkan pengakuan atau tidaknya, kemudian karya-karya sastra yang muncul, dan sampai surutnya sastra tersebut. Hal-hal tersebut mewarnai kehidupan sejarah sastra di Indonesia.


















B. PEMBAHASAN
Sastra Melayu Rendah yang juga disebut sastra Melayu Tionghoa, Melayu China, Melayu Pasar, atau Melayu Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Kesastraan Melayu Tionghoa berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. kesastraan ini, yang amat khas dan beragram, dalam jangka waktu yang cukup panjang tidak dinilai secara wajar oleh para penelaah dan kritikus sastra Indonesia dalam maupun luar negeri,bahkan tidak diakui sebagai khasanah Indonesia.
Kesastraan Melayu Tionghoa telah memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan mutu bangsa Indonesia. Bahasa sebagai alat pengucap sastra memang merupakan kriteria penting dalam menilai mutu karya sastra. Meski demikian hal itu bukanlah satu-satunya kriteria. Masih banyak ukuran lain yang tidak kalah pentingnya untuk menilai karya sastra seperti dari segi isi, metode, tehnik penyajian, dan seterusnya. Dilihat dari keseluruhanya, boleh dikatakan bahwa kesastraan Melayu Tionghoa telah memenuhi syarat sebagai kesastraan yang bermutu, termasuk bila dibandingkan dengan kesastraan Melayu tinggi pada periode yang sama. Oleh sebab itu, alasan untuk menolak Kesastraan Melayu Tionghoa sebagai mata rantai sastra Indonesia karena sastra tersebut mengguanakan “ Bahasa Melayu” sama sekali tidak ilmiah dan tidak dapat dipertahankan.
Pada 1981 dengan dipublikasikannya buku hasil kajian sarjana Prancis Claudine Salmon, yang berjudul Literature In Malay by the Chinese of Indonesia, barulah perhatian orang akan sastra ini tergugah. Pada 1984 pakar sastra Indonesia yang terkenal, Dr.A. Teeuw, juga merasa perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya atas hasil penelitian yang sudah sekian lama digelutinya. Sekitar tahun 1920 muncul Sastra Melayu karena pengaruh dari sumpah pemuda dikalangan penduduk pribumi yang secara sadar mengembangkan bahasa nasional, sehingga muncullah bahasa Melayu Rendah.
Sastra Melayu Rendah digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bentuk bahasa yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Mereka adalah masyarakat yag mengalami keterpurukan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.Sastra Melayu Rendah paling banyak dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim dan berdomisili di Jawa. Misalnya lebih banyak muncul dan berkembang di daerah pesisir, seperti Jakarta (termasuk Bogor dan Sukabumi), Surabaya, Semarang, Gresik, Tuban, Tegal, Pasuruan, Pekalongan, dan Indramayu. Ada juga di kota-kota pedalaman seperti Bandung, Malang, dan Solo, namun intensitasnya relatif lebih kecil. Mereka yang tidak menguasai bahasa leluhur menggunakan bahasa MelayuRendah sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis.
Kebudayaan Peranakan Tionghoa dikenal sebagai salah satu kebudayaan terkaya di Asia Tenggara. Hal itu terlihat dari pakaian, makanan, dan bahasanya yang merupakan sintesa dari kebudayaan Tionghoa, Melayu, Belanda, Portugis, dan berbagai kebudayaan lokal, itu semua tergantung di mana tempat kaum peranakan ini bermukim.
Bahasa Melayu Rendah yang biasanya disebut bahasa Melayu Tionghoa tidak hanya dipakai dalam pergaulan sehari-sehari, tetapi bahasa tersebut digunakan dalam media massa yang keberadaannya dapat ditelusuri sejak pertengahan abad ke 19. Perkembangan sastra Melayu Rendah didukung oleh maraknya industri penerbitan pers partikelir. Penggunaan Melayu Rendah sebagai bahasa pergaulan sehari-hari membuat media massa, terutama koran dan majalah, menaruh minat terhadap bahasa tersebut. Bagi penerbit partikelir, pemakaian bahasa Melayu Rendah menjanjikan keuntungan finansial lebih besar. Terbukti, koran atau majalah berbahasa Melayu Rendah dapat hidup dengan opah lumayan untuk ukuran saat itu. Pembaca mereka tak terbatas pada warga keturunan Tionghoa saja, melainkan juga etnis lain. Media massa mendorong timbulnya kesusastraan, karena halaman-halamannya juga diisi dengan terjemahan karya sastra Tiongkok yang terkenal. Terjemahan-terjemahan ini disusul pula dengan beberapa karya ciptaan sendiri yang di masa itu masih merupakan reportase berbentuk syair, seperti Syair kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi yang anonim, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1870.
Mulai tahun itu sampai kira-kira 1960-an kesastraan Melayu Tionghoa berkembang pesat sehingga dapat digolongkan dalam beberapa bidang. Di samping terjemahan dari bahasa Tionghoa dan Eropa terdapat juga karya fiksi dan non fiksi seperti buku referensi, misalnya mengenai cara menulis surat, membuat “pridato” dan sebagainya. Perkembangan karya fiksi yang dimulai pada pergantian abad ke 20 berjalan seiring dengan perkembangan politik dan sosial di luar maupun di dalam negeri yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap masyarakat Tionghoa Indonesia. Perkembangan politik dan sosial ini juga mempunyai dampak terhadap tema-tema yang dipakai untuk penulisan novel-novel, karena hubungan antara kesusastraan dan keadaan sosial masyarakat biasanya dianggap cukup erat. Sebenarnya, sastra Indonesia modern tidak terbatas dalam kategori yang ditentukan Balai Pustaka. Sejak tahun 1870-1966 kesusasteraan Indonesia yang ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” sudah berkembang. Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806 orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.
Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya. Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh buku-buku bacaan lainnya.
Dilihat dari banyaknnya karya-karya sastra tersebut menunjukan bahwa kebutuhan utama pembaca karya sastra Melayu-Rendah (Tionghoa) adalah nilai-nilai budaya luhur mereka. Karya sastra Eropa ditulis, karena masyarakat Tionghoa di Indonesia yang sudah tak menguasai bahasa China membutuhkan karya sastra yang penting dalam pembentukan peradaban China.
Sebagai istilah,sastra Melayu-Rendah bermuatan politis. Ia dimunculkan oleh Balai Pustaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk kesusastraan yang tidak menggunakan varian linguistik Melayu Riau sebagai tidak standar, rendah, cabul, dan liar.
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.
Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).
Lahirnya kesastraan Melayu Tionghoa bukanlah suatu kebetulan belaka, melainkan sudah ditentukan oleh perkembangan sejarah. Sebagamana diketahui, akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia sedang beralih dari masyarakat jajahan feodal yang berdasarkan ekonomi alam menuju ke masyarakatan jajahan kapitalis yang berdasarkan ekonomi pasar. Masyarakat Indonesia saat ini sedang berubah secara mendasar, dari masyarakat jajahan yang tercerai-berai berangsur-angsur menjadi masyarakat jajahan yang disatukan oleh tata ekonomi dan administtrasi yang sama. Dengan kata lain, kini menjadi masyarakat yang lama mennjadi masyarakat yang modern. Seuai dengan peralihan tersebut, maka lahirlah bangsa yang dapat digunakan oleh semua bangsa Indonesia, sehingga kemudian lahirlah sastra yang dapat mencermunkan realitas masyarakat zaman itu. Dulu orang menganggap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi adalah perintis Sasta Melayu baru, tapi kemudian tiada lagi penerusnya, sedangkan “ Kesastraan Melayu Tinggi” umumnya masih tetap berada dalam keadaan stagnasi, tercecer di belakang, dan tidak mampu lagi memantulkan cahaya zaman. Dalam keadaan demikian, maka lahirnya suatu sastra baru yang senapas dengan zamannya.
Bila dilihat dari kondisi zaman peralihan itu, memang keturuan Tionghoa merupakan satu golongan masyarakat yang lebih mampu memenuhi panggilan zaman dalam melakukan kerja cipta sastra, itu karena taraf ekonomi dan pendidikan mereka jauh lebih baik. Mereka merupakan pelopor pers dan penerbitan yaitu “ Bahasa Melayu Populer”. Abad ke-19 mereka sudah sangat pandai menertejemahkan dan menyadur karya-karya sastra Tiongkok dan Barat ke dalam “ Bahas Melayu Rendah”. Bukan hanya itu, mereka juga mencoba berkreasi sendiri untuk menghasilkan karya sastra yang dapat mencerminkan realitas suatu kehidupan bermasyarakat dan mengaspirasikan semangat zaman. Dalam konteks ini Kesastraan Melayu Tionghoa boleh dianggap yang mewakili sastra zaman peralihan. Ini merupakan kenyataan sejarah, tanpa adanya Kesastraan Melayu Tionghoa sebagai satu mata rantai pokok, maka rantai sejarah sastra Indonesia akan terputus.
Sejak kelahiran sastra Melayu Tionghoa ini sudah menjadi suatu pembeda dengan Kesastraan Melayu Tinggi. Isi Melayu Tionghoa lebih realistis, yaitu tidak terombang-ambing oleh dunia maya dan mitos, melainkan cerita yang diangkat dari kehidupan sehari-hari yang telah menyatu dengan kehidupan mereka.
Kedua, bentuk dan kreasi kesastraan itu sudah meninggalkan cara lama yang telah usang dan beralih ke bentuk dan metode kreasi sastra modern. Ini merupakan suatu perintisan jalan bagi sastra Indonesia untuk mencapai tahap sastra Modern.
Ketiga, sastra Melayu Tionghoa telah menigkatkan “Bahasa Melayu Rendah” ke taraf bahsa sastra dan mempopulerkannya ke seluruh Indonesia. Upaya seperti ini sudah menjadi syarat terbentuknya bahasa kesatuan Indonesia.
Keempat, selain mengandung nilai sastra, kesastraan Melayu Tiongoa juga merupakan dokumen sejarah, isinya kontekstual, bahan dan sumbernya kebanyakan digali dari peristiwa atau kejadian aktual yang waktu itu menjadi fokus perhatian umum. Dari banyaknya karya kesastraan tersebut, kita bisa mengetahui secara lebih konkrit tentang berbagai kontradiksi dan peristiwa yang terjadi di masyarakat masa itu.
Kesastraan Melayu Tionghoa merupakan cikal bakal sastra modern di Indonesia. Kesastraan tersebut tidak hanya muncul sebentar, melainkan terus berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah zaman menuju arah perjalanan sastra Indonesia modern sehingga akhirnya dapat menjadi suatu kesatuan.
Sejarah perkembangan zaman Kesastraan Melayu Trionghoa telah menciptakan prestasi yang mengagumkan, terutama pada masa keemasan., yaitu kurun 1920-an hingga 1930-an. Baik dilihat dari segi jumlah maupun mutunya, hasil yang dicapai dalam karya sastranya sungguh menajubkan bila dibandigkan dengan karya-karya sastra yang lain pada masa sejarah sastra Indonesia. Menurut perhitungan Claudine Salmon, jumlah keseluruhan kesastraan itu tidak kurang dari 3005 karya. Lebih dari sepertiga diantaranya 1398 karya merupakan karya asli, sementara sisanya berupa terjemahan dan saduran karya-karya sastra klasik Tiongkok dan Barat. Kesastraan Melayu Tionghoa bisa adikatakan tidak kalah mutunya bila dibandingkan dengan karya sastra Melayu Tinggi semasa, seperti karya-karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Salah satu nama pengarang yang patut disebut dan dinilai paling cemerlang serta paling representatif dalam Kesastraan Melayu Tionghoa adalah Kwee Tek Hoay. Ia mulai mengarang sejak tahun 1905, dan selama 20 tahun kurang lebih telah menghasilkan sekurang-kurangnya 25 karya sastra. Tiga novel yang dianggap memiliki daya kualitas dan bobot yang tinggi yaitu Boenga Roos dari Tjikembang, Drama dari Merapi, dan Drama di Boven Digoel, sangat termansyur pada masa sebelum Perang Dunia II. Boenga Roos dari Tjikembang misalnya, telah berkali-kali disandiwarkan, bahkan difilmkan. Drama di Boven Digoel dinilai sebagai sebuah mahakarya dan dipuji oleh Thomas Rieger sebagai salah satu karya monumental dalam sastra Indonesia.
Kedua novel tersebut- Drama di Boven Digoel dan Salah Asuhan betul-betul berani menyentuh masalah hakiki dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an, dan secara terbuka mengaspirasikan semangat ke- Indonesian. Sebagamana diketahui, dalam sejarah gerakan nasional Indonesia sedang mengalami gelombang pasangnya yang pertama. Bangsa Indonesia telah bangkit dengan tekat semangat melawan penjajahan Belanda. Kendati begitu sastra Indonesia pada tahun 1920-an telah didominasi oleh Balai Pustaka yang samasekali bungkam terhadap peristiwa nasional yang sedemikian rupa pentingnya. Hanya dua novel besar itulah yang paling mendalam dan memdasar mencerminkan kontradiksi nasional dan semangat zaman itu. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila kedua novel itu diberi tempat yang paling terhormat dalam sejarah sastra modern Indonesia sebelum Perang Dunia II.
Drama di Boven Digoel menggunakan settingnovel Pembrontakan November 1926 yang dipimpin oleh kaum komunis, sudah menjadi hal yang luar biasa. Menyentuhnya pun para pengarang Balai Pustaka tidak berani. Walaupun dalam kata pengantar Kwee Tek Hoay menyatakan bahwa novelnya itu “melulu ada satu romans yang sama sekali tidak mengandung sifat politik”, tertapi Ia mengakui bahwa “ Pembrontakan dari kaoem Communist” itu “masih hangat”. Bila demikian, mustahil kalau Kwee Tek Hoay samasekali tidak peduli peduli akan peristiwa politik yang masih hangat itu. Ia memberikan komentar dan penilaian sendiri, yaitu mengenai dirinya yang tidak setuju dengan pemberontakan kaum Komunis. Karena dia lebih suka menempuh jalan evolusioner daripada jalan revolusioner. Namun yang lebih penting lagi, melalui novelnya yang panjang ini, Kwee telah mencoba ikut menanggapi dan menjawab kemelut yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Drama di Boven Digoel boleh jadi memang bukan sebuah novel politik. Namun karena dilatari peristiwa pembrontakan November 1926, maka semua tokohnya hidup di tengah-tengah kemelut politik, bersinggungan atau bahkan langsung terlibat dalam kemelut itu. Meski demikian soal politik yang serius itu berhasil dijalani oleh Kwee dalam suatu kisah percintaan yang romantis dan mengharuhkan, sehingga tidak terasa keberatan politiknya. Dan disinilah salah satu kelebihan sang pengarang dalam mengembangkan cerita karya sastranya.
Tokoh utama dalam novel Drama di Boven Digoel adalah dua orang pribumi, yaitu Moestari dan Noerani. Masing-masing dari mereka memiliki watak yang tipikal. Moestari adalah wakil dari tipe pemuda pribumi terpelajar yang berasal dari golongan bangsawan. Cita-citanya yang gemilang adalah menjadi pegawai pangreh praja Hindia Belanda, maka tidak heran kalau sikap politik lebih Pro-Belanda. Meskipun demikian dalam hal cinta dia berani membangkang, dan rela meninggalkan masa depan yang selama ini dicita-citakan.
Kekasihnya, Noerani, berasal dari kelas ekonomi lapisan bawah dan ayahnya adalah seorang pemimpin PKI. Kendati begitu, Noerani tidak mengikuti jejak politik orang tuanya. Ia mempunyai cita-cita politik sendiri, yaitu berusaha supaya “Boemi poetra di Indonesia menjadi satoe bangsa jang madjoe dan terpandang tinggi” melalui usaha pendidikan. Dapat dibayangkan bagaimana sepasang merpati, yang berlatar belakang keluarga dan kedudukan sosial yang berbeda, ditempatkan di tengah-tengah arus pembrontakan politik yang telah bergejolak hebat. Seolah-olah sudah ditakdirkan, perjalanan cinta mereka harus menempuh berbagai cobaan berat, dan itulah benang merah yang menjelujuri seluruh cerita.
Walaupun Moestari dan Noerani berperan sebagai tokoh utama, namun tokoh yang diciptakan oleh si Pengarang sebagai harapan bangsa Indonesia adalah Jubaidah. Tabiat dan watak tokoh ini sedikit banyak mengingatkan kita kepada pendekar wanita yang sering ditemukan dalam cerita silat Tiongkok. Ia berdada lapang, berani , dan setia kawan, berkeras hati menjalankan segala kebajikan dan membela keadilan, serta rela mengorbankan diri demi membantu orang lain. Menurut Kwee, tokoh seperti inilah yang boleh diandalkan untuk membina generasi baru bangsa Indonesia. Maka pada akhir cerita, Noerani memasrahkan Moestari kepada Jubaidah, spaya mereka berdua bisa bersama dan melahirkan “anak-anak yang gagah dan pandai serta keras hati guna mengangkat derajat bangsa Indonesia dikemudian hari”.
Tokoh Tjoe Tat mo dan putrinya Dolores mewakili tipe golongan peranakan Tionghoa yang sudah merasa senasib sepenaggungan dengan bangsa Indonesia. Kwee Tek Hoay adalah seorang penulis yang dididik dalam tiga ragam kebudayaan, yaitu Kebudayaan Tionghoa, Kebudayaan Barat, dan Kebudayaan Pribumi. Ia cukup paham akan ketiga kebudayaan itu dan pandai menyerap unsur-unsur yang berfaedah. Ini dapat dihayati dari novel ini, terutama unsur-unsur kebudayaan Tionghoa yang terasa telah terbaur dengan mesranya.
Tjoe Tat Mo boleh dikatakan adalah penyalur pandangan dan pikiran Kwee Tek Hoay sendiri dan kita akan merasa kagum bawa si pengarang pada kurun 1920-an sudah memiliki semangat ke-Indonesiaan yang tegas. Ia berpendapat, “ Indonesia perloe dapet poetra dan poetri yang gagah dan keras hati boeat memadjoekan ini negri dan poetra poetri jang begitoe tjoema bisa terdapat dari toeroenannja pemoeda dan gadis-gadis jang pande, gagah dan mengandoeng semanget agoeng”. Dolores menerima penyerahan anak Noerani jusrtu untuk mengasuhnya supaya menjadi putra-putri Indonesia yang diharapkan. Selain itu si pengarang juga sudah mempunyai gagasan yang mengarah terciptanya Bhineka Tunggal Eka. Ini termanisfestasi dalam “Negeri Kebebasan”, suatu keinginan yang didambakannya, dimana semua orang hidup bercampur dengan rukun damai, saling menghormati identitas masing-masing, dan bebas darin segala penindasan.
Dalam novel ini, tokoh Tjoe Tat Mo dan Dolores yang mewakili golongan peranakan Tionghoa, tidak hanya menyumbang pikiran dan semangat, tetapi juga termasuk penunjang pelaksanaan cita-cita nasional Indonesia.

Berdasarkan sejarah asal-usulnya, terdapat empat empat golongan Tionghoa yang mempergunakan bahasa Cina, yaitu:Hokkian,Teo-Chiu,Hakka, dan Katon
Mereka semua berasal dari Cina Selatan.
Golongan Tionghoa yang paling lama bermigrasi ke Indonesia adalah orang-orang Hokkian yaitu abad ke-16. Sehingga adaptasi mereka yang paling kuat.
Sebab-sebab sastra golongan Tionghoa di indonesia yang menggunakan bahasa Melayu Rendah muncul di Jawa dari lingkungan kaum Hokkian, yaitu:Orang-orang Hokkian adalah golongan Tionghoa yang paling Lama menetap di Indonesia, Sebagian besar orang-orang Tionghoa di Jawa tinggal di kota-kota besar, dan orang-orang Hokkian di Jawa kebanyakan pedagang sejak abad ke-16, sehingga mereka merupakan golongan “borjuis” yang memiliki cukup modal untuk mengembangkan pendidikan.
Jadi sebab utama unculnya Sastra Melayu Tionghoa adalah kebutuhan budaya kaum peranakan yang rata-rata dari kelas pedagang dan pengusaha itu, suatu kelas sosial yang dekat dengan keperluan pendidikan dan bacaan karena mereka tidak mengguasai bahasa Cina lagi. Munculnya Pers Melayu Rendah dalam tulisan latin dan arab terjadi pada tahun 1858 di Batavia dengan surat kabar yang bernama Soerat Chaber Betawi's yang terbit hari sabtu.
Tahun 1920 : Istilah yang dipakai adalah Melayu Tionghoa/ Melayu Cina.
Tahun 1922 : Karya sastra melayu rendah ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indonesia.
Karya sastra modern kita adalah “ Azab dan Segsara Seorang Gadis” pada tahun 1919 oleh Merari.
Karya sastra tertua terbit sekitar tahun 1875 yaitu roman yang berjudul LawahLlawah Merah dari Pont Jest ( Pedagang dari Perancis).
Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang umum yang berlaku di zamannya ?(istilah umum).
Setelah kemerdekaan bahasa Melayu Rendah hilang (tidak digunakan lagi)
Tahun 1966 : Bahasa Melayu Rendah tidak hidup lagi (punah).

Namun, sastra Melayu Rendah tidak terlepas dari kelemahannya, tidak dipungkiri bahwa sastra Melayu-Rendah, telah memberi manfaat besar bagi kemajuan literasi di Indonesia. Meski akibat kebijakan politik kolonial lewat Balai Poestaka dan prasangka politik pada era berikutnya, jejak-jejak sastra Melayu-Rendah telah diabaikan oleh banyak pengamat.
Semangat sejati dari interaksi Tionghoa dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah penghapusan diskriminasi terhadap pihak mana pun seraya mengikis habis kesenjangan sosial dengan membina serta memahami nilai-nilai budaya ekonomi dari pihak yang sukses di sektor swasta.
Dalam proses itu, sastra Melayu-Tionghoa memberi makna yang mendalam. Karya sastra Melayu-Tionghoa sebetulnya memiliki kelebihan dengan corak bahasa Mandarin atau dialeknya yang memiliki pemahaman lebih dalam terhadap deskripsi suasana, bau wewangian, dan rasa, seperti tergambar dalam karya Kwee Tik Hoay. Kedalaman makna dalam deskripsi keindahan alam adalah salah satu contoh kelebihan sastra Melayu-Tionghoa. Itu merupakan kelebihan yang dimiliki pengarang berlatar budaya Tionghoa yang menjadi masukan berharga dalam sastra Nusantara. Karya sastra yang membuming pada masa itu adalah berupa novel-novel karya Kwee Tik Hoay, yaitu Drama dai Merapi, Boenga Ross, Boven Dioel dan masih banyak yang lainnya.
Karya sastra Melayu-Tionghoa juga penting untuk diterima masyarakat karena makna mendalam yang dimilikinya. Karya klasik ala Kwee Tik Hoay banyak berpesan tentang ketaatan perempuan, kembali pada nilai keluarga,dan terutama menghapus kecurigaan antarkelompok dan persoalan agama. Ini sangat sesuai dengan konteks Indonesia yang sedang kita jalani.
Tanpa adaya Kasusastraan Melayu Tionghoa, maka kehidupan sastra Indonesia tidak akan lebih berwarna. Tapi dengan seiring berkembangnya zaman dan bukti-bukti karya sastra yang pernah hadir dikasanah Indonesia sebagai dominasi dari Kebudayaan masyarakat Tionghoa, ini menjadikan sastra tersebut menjadi diakui dalam periodisasi sastra Indonesia.


C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sastra Melayu Rendah atau sastra Melayu Tionghoa, merupakan karya sastra yang pernah hadir mengisi kekasusastraan Indonesia. Muncul pada waktu kolonial Belanda menjajah di Indonesia.
2. Sastra Melayu Tionghoa mulai mendapat sorotan dan perhatian dari bangsa Indonesia, artinya sastra tersebut sudah mulai mendapat pengakuan , karena dari hasil karyanya sesuai dengan kausastraan Indonesia.
3. Karya-karya sastra yang dihasilkan cukup banyak, bahkan dalam periodisasi sastra ini merupakan karya yang paling fantastik jumlahnya.
4. Karya sastra Tionghoa memiliki ciri khas tersendiri
5. Mulai punah sekitar tahun 1966.

















DAFTAR PUSTAKA

Marcus A.s , Pac Benedato, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan. 2001. Gramedia: Jakarta.
Kompas , 20 Februari 2004, posted by RM Danardono, http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/2010/10/03/tionghoa-dan-subversi-sastra-melayu.html. 11:45.
Suaramerdeka.com, http://iccsg.wordpress.com/2006/10/31/sastra-melayu-tionghoa-mencari-pengakuan/, 12:33.
http://www.sastra-indonesia.com/2010/10/menjadi-%E2%80%9Cindonesia%E2%80%9D-lewat-sastra-melayu-tionghoa/, 13:00.