Kamis, 24 November 2011

ANALISIS SEKUEN "Cerita Rakyat Batu Batangkup"


                        Cerita Rakyat Melayu Riau - Batu Batangkup

“Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut :
Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.
           
Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Mereka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya. “Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,”Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang.Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup. “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.

Maka mereka kemudian rajin membantu emak, menyayangi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.

Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.



















“Batu Batangkup”


Ø  Analisis Sekuen à berdasarkan tiga urutan, yaitu tekstual, kronologis dan logis
u Urutan Tekstual
  1. Mak Minah seorang janda yang tinggal di dusun Indragiri Hilir
            1.1 Mak Minah mempunyai satu orang anak perempuan bernama Diang dan dua orang anak               laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin.
            1.2 Mak Minah seorang janda yang mempunyai semangat pekerja keras.
  1. Ketiga anaknya tidak menghormati Mak Minah sebagai ibunya
            2.1 Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau                        membantu emaknya.
            2.2Mak Minah hanya meratapi nasibnya,mempunyai anak tapi sifatnya selalu membangkang             dengan emaknya.
            2.3Mak Minah meneteskan air mata sambil berdoa, agar anak-anaknya bisa berubah menjadi              seorang anak yang bisa menghormati sosok seorang ibu.
  1. Mak minah mulai putus asa menghadapi ketiga anaknya.
            3.1 Ma minah menyiapkan makanan untuk ketiga anaknya, lalu pergi ke tepi sungai dan                       mendekati sebuah batu yang bisa berbicara.
            3.2 Batu itu mendapat sebutan dari masyarakat sekitar dengan nama Batu Batangkup, batu                 tersebut dapat membuka dan menutup seperti karang.
            3.3 Batu Bertangkup itu, menelan Mak Minah sesuai dengan keinginan Mak Minah sendiri.
  1. Ketiga anak Mak Minah kebingungan.
            4.1 Tidak ada emak yang memasak makanan untuk mereka.
            4.2 Ketiga anaknya tersebut awalnya tidak peduli dengan keberadaan ibunya.
            4.3 Ibunya ditelan oleh Batu Batangkup, kemudian ditemukan olek ketiga anaknya saat                      mereka bemain di Sungai.
  1. Permohonan Ketiga anaknya kepada Batu Batangkup.
            5.1 Ketiga anak tersebut, meminta batu itu untuk melepaskan ibunya dengan cara menanggis             mengucapkan janji-janji untuk menjadi anak baik dan taat kepada ibunya.
  1. Perubahan sementara dari ketiga anaknya.
            6.1 Ketiga anak Mak Minah berubah menjadi baik, tapi hanya untuk sementara saja, Setelah                itu, kembali ketabiat aslinya.
  1. Batu Betangkup marah
            7.1 Batu Batangkup menelan kembali Mak Minah.
            7.2 Ketiga anaknya melakukan permohonan yang sama.
            7.4 Batu Batangkup marah, dan menelan mereka semua.
            7.5 Batu Batangkup masuk ke tanah dan menghilang.

Sumber : Batu Batangkup, Cerita Rakyat Pekanbaru Riau (Karya Farouq Alwi, 2006).



 

                                         a




























 

    b




























 


   c


            a : Teks secara keseluruhan (Batu Batangkup)
            b : Sekuen tingkat pertama
            c : Sekuen tingkat kedua

   Urutan Batu Batangkup à alur sederhana à spt cerita rakyat lainnya
∑ sekuen = 24 sekuen à 7 sekuen besar &  17sekuen kecil
Dengan demikian, Batu Batangkup terdiri atas 2 tingkatan sekuen, yaitu sekuen tingkatan pertama dan sekuen tingkatan kedua


u Urutan Kronologis
          Berdasarkan urutan peristiwanya secara kronologis maka urutan peristiwa dalam teks Batu Batangkup ini bergerak lurus dan tidak ada pengulangan. Urutan peristiwa (disingkat P) berdasarkan sekuen, maka P1 (sekuen 1: 1.1, 1.2) diikuti P2 (sekuen 2: 2.1 – 2.3), diikuti P3 (sekuen 3: 3.1 – 3.3), diikuti P4 (sekuen 4: 4.1 – 4.3), diikuti P5 (sekuen 5), diikuti P6 (sekuen 6), diikuti P7 (sekuen 7: 7.1-7.4).


u Urutan Logis
Urutan logis dipaparkan berdasarkan hubungan sebab-akibat. Analisis ini menekankan logika cerita, sebab logika merupakan dasar struktur. Urutan alur cerita teks Batu Batangkup mempunyai hubungan sebab-akibat (kausalitas).
Sekuen 1 (1.1, 1.2)   Mak Minah seorang janda yang tinggal di dusun Indragiri Hilir mempunyai tiga orang anak bernama Diang, Utuh dan Ucin mempunyai hubungan kausalitas dengan sekuen 2.
Sekuen 2 (2.1 – 2.5) Ketiga anaknya tidak menghormati Mak Minah sebagai ibunya, mereka malas dan hanya bermain, sehingga membuat ibunya bersedih mempunyai hubungan kausalitas dengan sekuen 3.
Sekuen 3 (3.3-3.3) Mak minah mulai putus asa menghadapi ketiga anaknya,lalu menyuruh Batu Batangkup untuk menelan dirinya  mempunyai hubungan kausalitas dengan sekuen 4.
Sekuen 4 ( 4.1-4.3) Ketiga anak Mak Minah kebingungan mengapa ibunya menghilang, mereka kawatir karena tidak ada yang memasak untuk mereka. Lalu ketiga anak itu melihat ibu mereka ditelan oleh Batu Batangkup,
sekuen 5 (sekuen 5) Ketiga anak itu memohon kepada Batu Batangkup untuk melepaskan ibunya, mempunyai hubungan kausalitas dengan sekuen 5.
Sekuen 6 (sekuen 6) Anak-anak Mak Minah menjadi baik, tapi sifat mereka itu  hanya bertahan untuk sementara saja, setelah itu kembali ketabiat aslinya menjadi anak yang suka bermain dan pemalas, mempunyai hubungan kausalitas dengan sekuen 7.
Sekuen 7 (7.1-7.4)  Mak Minah kembali ditelan oleh Batu Batangkup, karena Mak Minah sendiri tidak tahan dengan perilaku anak-anaknya yang terlalu nakal. Ketiga anaknya kembali memohon kepada Batu Batangkup, tetapi batu itu marah dan menelan mereka semua, kemudian batu tersebut masuk kedalam tanah. Sejak saat itu, Batu Batangkup itu tidak pernah muncul kembali.


Ø  Unsur-unsur cerita rakyat Batu Batangkup :
a. Tokoh
     1. Mak Minah
     2. Diang
     3. Utuh
     4. Ucin
     5. Batu Batangkup
b. Alur
  Menggunakan alur maju, peristiwa yang terjadi disusun secara beruntutan sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Misalnya, bermula dari Janda itu memiliki anak, kemudian diceritakan kehidupannya dengan anaknya, hingga berakhirnya cerita.
c. Setting
    Setting cerita rakyat Batu Batangkup terdapat setting sebagai  berikut :
     1. Setting Tempat : di dusun Indragiri Hilir, Pekanbaru Riau. Disebuah gubuk  reyot dan di tepi sungai dusun itu.
     2. Setting Waktu : kebanyakan setting waktu peristiwa diterangkan  pada waktu menjelang sore hari, malam hari dan pagi hari.
d. Vokalisasi (point of view)
    Pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga.
    Wadah : Cerita Rakyat Batu Batangkup merupakan wadah karya  sastra dalam bentuk cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat.
    Dalam rangka fungsi :
Ø  Rumah Reyot : membuktikan bahwa pada zaman itu masih ada masyarakat yang hidupnya masih terbelakang dan hidup serba kekurangan.
Ø  Kayu Bakar : Menunjukan bahwa alat yang digunakan untuk memasak menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu.
Ø  Pasar : Merupakan tempat untuk transaksi jual beli.
Ø  Nasihat : Menunjukan bahwa seorang ibu masih perhatian terhadap anak-anaknya, dan tidak menginginkan anak-anaknya terjerumus kedalam hal-hal yang tidak baik.
Ø  Berdoa : Menunjukan bahwa pada saat itu sudah mengenal Tuhan.
Ø  Permainan : Menunjukkan bahwa dalam cerita itu ada permainan yang digunakan sebagai pelipur lara, bersenang-senang, hingga kadang melupakan waktu.
Ø  Sungai : Untuk menunjukan bahwa disana ada makluk hidup yang hidup, merupakan sumber air untuk kehidupan sehari-hari.
Ø  Batu Batangkup : Merupakan benda yang memperingatkan manusia jangan berbuat jahat.
Menyampaikan Pesan : Orangtua yang baik pasti memperingatkan anak-anaknya ketika berbuat salah. Ketika sedang senang ataupun sedih kita wajib mengingat sang pencipta ( Tuhan ). Sebagai anak yang baik kita harus membantu setiap orang yang membutuhkan bantuan atau sedang mengalami kesusahan, terutama membantu kedua orangtua kita. Mengingatkan kita untuk tidak bermain sampai melupakan waktu. Cerita yang berkaitan tentang Batu bisa dikaitkan dengan zaman pembabakan prasejarah, yaitu zaman Batu.
Alternatif Solusi : Cerita rakyat tersebut bagus untuk dilestarikan, sehingga bisa diwariskan secara turun temurun sebagai cerita rakyat yang bersifat kedaerahan dan baik untuk mendidik anak-anak menjadi anak yan lebih baik. Walaupun bersifat mistis, tetapi cerita tersebut mengandung banyak hikmah yang perlu kita pelajari.


Puisi "Bendera Indonesiaku"

 Bendera Indonesiaku

 Hitam tak kan pernah mengubahku
Merah putih tak kan pernah menjadi hitamku
Tekat semangat suci selalu dihatiku
Kobarkan api semangat untuk membelamu
              Tuk detuk jantung ku hitung
              Lemah timah sucikan diriku
             Sebening kalbu menyabutku
            Ku korbankan hanya untukmu
Tongkat menjulang mengangkatmu
Semboyankan lambang negaraku
Ku angkat sudah tanganku
Untukmu bendera Indonesiaku

Tupai Jenjang (Sastra Kerinci)


PENDAHULUAN

Cerita Rakyat Indonesia merupakan bagian kesusastraan Indonesia lama. Daerah Jambi yang terletak di pulau Sumatera, yang konon terselisih dari tulisan Devanagari atau Pallawa-Cerita rakyatnya belum ditemui dalam bentuk tulisan (tertulis).Cerita Rakyat daerah Jambi ialah cerita-cerita rakyat yang karena hubungan politis ketatanegaraan bermukim dan terdapat dalam satu daerah yang sama yakni Jambi, dan di Jambi terdapat Dati II Kerinci.
Dalam Sastra Kerinci terdapat nilai-nilai yang terkandung sebagai pelajaran hidup dan Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan tersendiri dalam Sastra Kerinci. Oeh karena itu, Karya Sastra ini harus dipelajari agar kebudayaan cerita lisan tetap berkembang.
Sastra Kerinci pada umumnya sastra lisan. Bentuk-bentuk Sastra Lisan Kerinci bisa diklarifikasikan sebagai prosa, puisi, prosa liris, dan kaunaung adalah salah satu bentuk kesenian yang disenangi masyarakat berupa cerita, lagu serta ekspresi penceritaannya. Disampaikan oleh pencerita yang disebut tukang kunaung yang diiringi dengan alat musik seperti rebana, gendang, gong dan lainnya, ada pula yang tanpa iringan alat musik. Pada umumnya cerita yang disampaikan bertujuan sebagai pelipur lara, yang diselingi dengan petuah, pendidikan moral, dan cerita mengenai kisah-kisah.











PEMBAHASAN


1.      Kedudukan Karya Sastra Kerinci dalam Sastra Kerinci

Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan dalam Sastra Kerinci yaitu sebagai wujud warisan kebudayaan daerah Kerinci, dan biasanya diceritakan secara lesan oleh pelisan. Berupa cerita yang terus menerus diceritakan pada waktu-waktu tertentu seperti menuai padi; cerita Tupai Jenjang.
Orang Kerinci yang pragmatis-humoris, cerita rakyatnya banyak yang lucu-lucu. Tipu muslihat, akal sehat, kesedihan, kegembiraan, nasib mujur, sering dijadikan dasar dan jiwa cerita. Dalam cerita Tupai Jenjang mengisahkan seorang tokoh yang mengalami kemujuran.
Cerita “Tupai Jenjang” merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa, yang mengisahkan kehidupan puteri raja menikah dengan pemuda dari kalangan biasa. Banyak juga masalah yang dihadapi saat meuju ke ladang, yaitu bertemu dengan raksasa.

2.      Nilai-nilai
Sastra lisan berupa cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Karya Sastra Kerinci yang berjudul “Tupai Jenjang” mempunyai nilai-nilai yang terkandung di dalam isi ceritanya, misalnya:
a.       Nilai Keagamaan: bahwa seorang pemuda dan pemudi yang bukan muhrimnya tidak boleh pergi bersama apabila belum menikah. Ini membuktikan bahwa aturan agama sangat melekat dalam kehidupan mereka.
b.      Nilai adat istiadat:  aturan adat istiadat juga dicerinkan dalam cerita “Tupai Jenjang”.




PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Karya Sastra Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan Sastra Lisan Kerinci dan merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa.
2.      Sastra Lisan Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan cerita rakyat warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.



















DAFTAR PUSTAKA

     Bambang Suwondo. 1982. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Solo: BPSI (Badan Penerbit Sastra Indonesia).





















SINOPSIS TUPAI JENJANG

Hulu Balang mendatangi rumah Bujang Bingung guna melaksanakan perintah dari raja. Raja menginginkan Bujang Bingung mencari mentimun untuk puterinya yang sakit. Lalu Bujang Bingung menghadap raja, dan mengatakan ketidaksanggupannya bila mencari mentimun itu sendiri. Raja berusaha membujuk Bujang Bingung dengan iming-iming berupa beras, kapak atau parang, dan berladang. Raja juga mempelihatkan keadaan puterinya yang hanya tinggal kulit dibalut tulang dikarenakan tidak makan mentimun. Akhirnya, Bujang Bingung menyanggupi permintaan raja untuk mencari mentimun.
Raja berkata kepada puterinya, bahwa Bujang Bingung menyanggupi perintahnya itu dan akan membawakan mentimun itu untusknya. Raja juga menasehati puterinya agar bersenang hati dan tidak demam lagi. Meskipun mentimun itu datang, tetapi kalau dimakan waktu demam pasti tidak enak rasanya. Puteri memiliki prinsip yang berbeda, dia menginginkan mentimun itu sekarang juga, dan kalaupun mentimun itu tidak ada, puteri ingin ikut bersama Bujang Bingung pergi ke ladang. Raja menetang keputusan puteri, dikarenakan puteri masih gadis dan sementara Bujang Bingung adalah bujang. Kemudian raja mengutus hulu Balang kembali menjemput Bujang Bingung. Raja langsung mengatakan maksudnya kepada Bujang Bingung, tetapi Bujang Bingung membutuhkan persetujuan orang tuanya.
Bujang Bingung memanggil ibunya dan mengatakan keinginannya untuk menikahi puteri raja. Ibunya merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan keluarga raja, dikarenakan dirinya miskin. Tapi pada akhirnya keputusan diserahkan kepada anaknya.
Bujang Bingung pergi menghadap raja dan memberi kabar tentang keputusan ibunya. Setelah mendengar cerita Bujang Bingung, raja langsung memerintahkan hulu Balang untuk memanggil tuan Kadi guna menikahkan Bujang Bingung dengan puterinya. Di hari pernikahannya, Bujang Bingung justru teringat akan ibunya yang ada di rumah makan dengan menggunkan apa, sedangkan dirinya makan dengan makanan enak. Melihat makanan yang enak-enak, Bujang Bingung ingin membungkus makanan itu untuk dibawa pulang guna diberikan kepada ibunya.
Bujang Bingung hendak pergi ke ladang, an istrinya merengek untuk iut juga ke ladang. Bujang Bingung Mengizinkan istrinya ke ladang asalkan dia izin terlebih dahulu kepda sang raja. Raja pun mengizinkan mereka berdua pergi.
Perjalanan ke ladang membutuhkan waktu yang lama, perlu mendaki bukit, menuruni lurah dan melayari sungai. Selama diperjalanan puteri banyak mengeluh karena kecapekan dan membutuhkan istirahat. Puteri pun meminta suaminya untuk menunggunya. Tetapi sang suami tetap meneruskan perjalanannya dan menyuruh istrinya kembali pulang saja. Tapi sang istri tetap kukuh pada pendiriannya menemani suaminya pergi ke ladang. Lama perjalanan, tetap tidak menjumpai ladang. Sang istri dalam hati berguming bahwa dirinya merasa di tipu.
Tiba di atas puncak bukit kebetulan terlihatlah agak jauh ada padi orang sedang menguning, itu lah ladang padi kita, kata suaminya itu. Padi yang ditanamnya sewaktu hendak pulang ke dusun dulu, sudah kusiangi dan sekarang sudah menguning padi ini.
Dekat ladang tersebut ada rumah tapi dihuni oleh raksasa. Dinding rumah terbuat dari kulit-kulit binatang, dari rambut orang dan bulu-bulu binatang dijadikan atap rumah. Merekta berdua dalam bahaya lalu mereka naik ke loteng bersembunyi. Setelah diatas loteng, mereka melihat raksasa yang sedang memasak bubur paha gajah. Kelihatan lezat bubur itu, sehingga isteri Bujang Bingung kelihatan lapar dan menyuruh suaminya untuk memintanya sedikit. Tetapi Bujang Bingung tidak mau, karena terlalu berbahaya dan ditolak istrinya sampai jatuh ke dalam daging gajah itu. Terpelantinglah daging itu lalu terpercik terkena raksasa besar itu. Kemudian raksasa itu lari ke hutan. Turunlah si Bujang mengambil istrinya dan digosok-gosoknya dengan gula yang kebetulan banyak disitu. Mereka berdua lalu makan bubur paha gajah itu.
Raksasa meraung-raung kesakitan dan miminta tolong musang untuk pergi ke rumahnya dan melihat siapa yang menganggunya tadi. Musang melaksanakan perintah dari raksasa tersebut dan bergegas pergi ke rumah tersebut. Naiklah musang ke atas bumbung rumah dan mengintip si Bujang dan isterinya. Keduanya mengetahui musang yang ada di atas, lalu ditariklah ekor musang itu sampai putus dari badannya.
Sudah tujuh hari raksasa itu tidak kembali ke rumahnya, itu berarti raksasa itu sudah tidak menginginkan rumah itu lagi. Kemudian si Bujang menasehati istrinya sebab ia tidak mau mengajak dirinya ke ladang karena terlalu banyak bahaya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang bersama, perjalanan pulang selama lima hari baru sampai ke dusun. Setelah sampai, Bujang Bingung menyuruh sang raja untuk menyiapkan kuli untuk menuai padi di ladang. Si Bujang pun mengakui kesalahannya selama ini, dan meminta maaf kepada raja. Istri si Bujang pun juga hamil, jadi tidak mungkin Bujang Bingung meninggalkannya.
Menuailah mereka, menuailah bersama-sama. Diangkutlah padi yang sudah dituai itu dibawa pulang. Tidak lama setelah itu, Bujang Bingung pun beruntunglah hidup bersama puteri raja dan beruntung pulalah mendapat padi seperti itu.
















Tupai Jenjang (Sastra Kerinci)


PENDAHULUAN

Cerita Rakyat Indonesia merupakan bagian kesusastraan Indonesia lama. Daerah Jambi yang terletak di pulau Sumatera, yang konon terselisih dari tulisan Devanagari atau Pallawa-Cerita rakyatnya belum ditemui dalam bentuk tulisan (tertulis).Cerita Rakyat daerah Jambi ialah cerita-cerita rakyat yang karena hubungan politis ketatanegaraan bermukim dan terdapat dalam satu daerah yang sama yakni Jambi, dan di Jambi terdapat Dati II Kerinci.
Dalam Sastra Kerinci terdapat nilai-nilai yang terkandung sebagai pelajaran hidup dan Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan tersendiri dalam Sastra Kerinci. Oeh karena itu, Karya Sastra ini harus dipelajari agar kebudayaan cerita lisan tetap berkembang.
Sastra Kerinci pada umumnya sastra lisan. Bentuk-bentuk Sastra Lisan Kerinci bisa diklarifikasikan sebagai prosa, puisi, prosa liris, dan kaunaung adalah salah satu bentuk kesenian yang disenangi masyarakat berupa cerita, lagu serta ekspresi penceritaannya. Disampaikan oleh pencerita yang disebut tukang kunaung yang diiringi dengan alat musik seperti rebana, gendang, gong dan lainnya, ada pula yang tanpa iringan alat musik. Pada umumnya cerita yang disampaikan bertujuan sebagai pelipur lara, yang diselingi dengan petuah, pendidikan moral, dan cerita mengenai kisah-kisah.











PEMBAHASAN


1.      Kedudukan Karya Sastra Kerinci dalam Sastra Kerinci

Karya Sastra Kerinci mempunyai kedudukan dalam Sastra Kerinci yaitu sebagai wujud warisan kebudayaan daerah Kerinci, dan biasanya diceritakan secara lesan oleh pelisan. Berupa cerita yang terus menerus diceritakan pada waktu-waktu tertentu seperti menuai padi; cerita Tupai Jenjang.
Orang Kerinci yang pragmatis-humoris, cerita rakyatnya banyak yang lucu-lucu. Tipu muslihat, akal sehat, kesedihan, kegembiraan, nasib mujur, sering dijadikan dasar dan jiwa cerita. Dalam cerita Tupai Jenjang mengisahkan seorang tokoh yang mengalami kemujuran.
Cerita “Tupai Jenjang” merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa, yang mengisahkan kehidupan puteri raja menikah dengan pemuda dari kalangan biasa. Banyak juga masalah yang dihadapi saat meuju ke ladang, yaitu bertemu dengan raksasa.

2.      Nilai-nilai
Sastra lisan berupa cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Karya Sastra Kerinci yang berjudul “Tupai Jenjang” mempunyai nilai-nilai yang terkandung di dalam isi ceritanya, misalnya:
a.       Nilai Keagamaan: bahwa seorang pemuda dan pemudi yang bukan muhrimnya tidak boleh pergi bersama apabila belum menikah. Ini membuktikan bahwa aturan agama sangat melekat dalam kehidupan mereka.
b.      Nilai adat istiadat:  aturan adat istiadat juga dicerinkan dalam cerita “Tupai Jenjang”.




PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Karya Sastra Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan Sastra Lisan Kerinci dan merupakan cerita pelipur lara berbentuk prosa.
2.      Sastra Lisan Kerinci “Tupai Jenjang” merupakan cerita rakyat warisan budaya nasional memiliki nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk  kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.



















DAFTAR PUSTAKA

     Bambang Suwondo. 1982. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bani Sudardi. 2010. Sastra Nusantara Deskripsi Aneka Kekayaan Sastra Nusantara. Solo: BPSI (Badan Penerbit Sastra Indonesia).





















SINOPSIS TUPAI JENJANG

Hulu Balang mendatangi rumah Bujang Bingung guna melaksanakan perintah dari raja. Raja menginginkan Bujang Bingung mencari mentimun untuk puterinya yang sakit. Lalu Bujang Bingung menghadap raja, dan mengatakan ketidaksanggupannya bila mencari mentimun itu sendiri. Raja berusaha membujuk Bujang Bingung dengan iming-iming berupa beras, kapak atau parang, dan berladang. Raja juga mempelihatkan keadaan puterinya yang hanya tinggal kulit dibalut tulang dikarenakan tidak makan mentimun. Akhirnya, Bujang Bingung menyanggupi permintaan raja untuk mencari mentimun.
Raja berkata kepada puterinya, bahwa Bujang Bingung menyanggupi perintahnya itu dan akan membawakan mentimun itu untusknya. Raja juga menasehati puterinya agar bersenang hati dan tidak demam lagi. Meskipun mentimun itu datang, tetapi kalau dimakan waktu demam pasti tidak enak rasanya. Puteri memiliki prinsip yang berbeda, dia menginginkan mentimun itu sekarang juga, dan kalaupun mentimun itu tidak ada, puteri ingin ikut bersama Bujang Bingung pergi ke ladang. Raja menetang keputusan puteri, dikarenakan puteri masih gadis dan sementara Bujang Bingung adalah bujang. Kemudian raja mengutus hulu Balang kembali menjemput Bujang Bingung. Raja langsung mengatakan maksudnya kepada Bujang Bingung, tetapi Bujang Bingung membutuhkan persetujuan orang tuanya.
Bujang Bingung memanggil ibunya dan mengatakan keinginannya untuk menikahi puteri raja. Ibunya merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan keluarga raja, dikarenakan dirinya miskin. Tapi pada akhirnya keputusan diserahkan kepada anaknya.
Bujang Bingung pergi menghadap raja dan memberi kabar tentang keputusan ibunya. Setelah mendengar cerita Bujang Bingung, raja langsung memerintahkan hulu Balang untuk memanggil tuan Kadi guna menikahkan Bujang Bingung dengan puterinya. Di hari pernikahannya, Bujang Bingung justru teringat akan ibunya yang ada di rumah makan dengan menggunkan apa, sedangkan dirinya makan dengan makanan enak. Melihat makanan yang enak-enak, Bujang Bingung ingin membungkus makanan itu untuk dibawa pulang guna diberikan kepada ibunya.
Bujang Bingung hendak pergi ke ladang, an istrinya merengek untuk iut juga ke ladang. Bujang Bingung Mengizinkan istrinya ke ladang asalkan dia izin terlebih dahulu kepda sang raja. Raja pun mengizinkan mereka berdua pergi.
Perjalanan ke ladang membutuhkan waktu yang lama, perlu mendaki bukit, menuruni lurah dan melayari sungai. Selama diperjalanan puteri banyak mengeluh karena kecapekan dan membutuhkan istirahat. Puteri pun meminta suaminya untuk menunggunya. Tetapi sang suami tetap meneruskan perjalanannya dan menyuruh istrinya kembali pulang saja. Tapi sang istri tetap kukuh pada pendiriannya menemani suaminya pergi ke ladang. Lama perjalanan, tetap tidak menjumpai ladang. Sang istri dalam hati berguming bahwa dirinya merasa di tipu.
Tiba di atas puncak bukit kebetulan terlihatlah agak jauh ada padi orang sedang menguning, itu lah ladang padi kita, kata suaminya itu. Padi yang ditanamnya sewaktu hendak pulang ke dusun dulu, sudah kusiangi dan sekarang sudah menguning padi ini.
Dekat ladang tersebut ada rumah tapi dihuni oleh raksasa. Dinding rumah terbuat dari kulit-kulit binatang, dari rambut orang dan bulu-bulu binatang dijadikan atap rumah. Merekta berdua dalam bahaya lalu mereka naik ke loteng bersembunyi. Setelah diatas loteng, mereka melihat raksasa yang sedang memasak bubur paha gajah. Kelihatan lezat bubur itu, sehingga isteri Bujang Bingung kelihatan lapar dan menyuruh suaminya untuk memintanya sedikit. Tetapi Bujang Bingung tidak mau, karena terlalu berbahaya dan ditolak istrinya sampai jatuh ke dalam daging gajah itu. Terpelantinglah daging itu lalu terpercik terkena raksasa besar itu. Kemudian raksasa itu lari ke hutan. Turunlah si Bujang mengambil istrinya dan digosok-gosoknya dengan gula yang kebetulan banyak disitu. Mereka berdua lalu makan bubur paha gajah itu.
Raksasa meraung-raung kesakitan dan miminta tolong musang untuk pergi ke rumahnya dan melihat siapa yang menganggunya tadi. Musang melaksanakan perintah dari raksasa tersebut dan bergegas pergi ke rumah tersebut. Naiklah musang ke atas bumbung rumah dan mengintip si Bujang dan isterinya. Keduanya mengetahui musang yang ada di atas, lalu ditariklah ekor musang itu sampai putus dari badannya.
Sudah tujuh hari raksasa itu tidak kembali ke rumahnya, itu berarti raksasa itu sudah tidak menginginkan rumah itu lagi. Kemudian si Bujang menasehati istrinya sebab ia tidak mau mengajak dirinya ke ladang karena terlalu banyak bahaya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang bersama, perjalanan pulang selama lima hari baru sampai ke dusun. Setelah sampai, Bujang Bingung menyuruh sang raja untuk menyiapkan kuli untuk menuai padi di ladang. Si Bujang pun mengakui kesalahannya selama ini, dan meminta maaf kepada raja. Istri si Bujang pun juga hamil, jadi tidak mungkin Bujang Bingung meninggalkannya.
Menuailah mereka, menuailah bersama-sama. Diangkutlah padi yang sudah dituai itu dibawa pulang. Tidak lama setelah itu, Bujang Bingung pun beruntunglah hidup bersama puteri raja dan beruntung pulalah mendapat padi seperti itu.